Mari Belajar Dari Binatang

Andy Setyawan
Production Management PT Global TV
Ka. Dewan Perintis KIRJAS

Kadang kita sebagai manusia sering menganggap diri kita adalah makhluk yang paling sempurna, makhluk yang paling pintar, dan makhluk yang bisa menguasai apapun yang ada di dunia ini. Tanpa kita sadari sering kita menganggap diri kita sebagai penguasa dunia ini (setidaknya sebagai penguasa atas apa yang kita miliki, tubuh, harta benda, keluarga, dll), dan implikasi dari perilaku menguasai ini adalah pengintervensian kepada makhluk lain. Beberapa sifat dan prilaku kita mencerminkan ketidak berdayaan kita terhadap diri kita sendiri untuk memenuhi apa yang tidak bisa kita penuhi, sehingga mengandalkan orang lain untuk melakukannya. Atau dilain sisi menggambarkan keangkuhan kita untuk memiliki sesuatu tanpa mau berbagi dengan orang lain, dan karena takut apa yang kita miliki direnggut oleh orang lain.
Tuhan menciptakan langit dan bumi beserta isinya untuk dihuni oleh makhluknya yang sempurna yang bernama “manusia”. Tidak hanya manusia, Tuhan juga melengkapi dengan dua makhluk lainnya dengan tujuan untuk membantu dan “dimanfaatkan” oleh manusia, kedua makhluk itu adalah binatang dan tumbuhan. Dalam kitab suci (Islam) dijelaskan term bahwa manusia adalah makhluk paling tinggi derajatnya di muka bumi ini dibanding kedua makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Statement ini dirasa dapat dijelaskan secara ilmiah karena manusia merupakan organisme paling kompleks (struktur anatomi) dan memiliki otak dengan kemampuan untuk berpikir. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kedua makhluk ciptaan Tuhan yang lain yang diciptakan Tuhan dengan hanya mengandalkan insting untuk bertahan hidup.
Selama hampir 2 tahun ini saya melakukan kajian tentang urgensi kebermanfaatan ketiga makhluk tersebut setidaknya untuk 3 hal dan dimensi: bumi, sesama makhluk hidup lain, dan historisitas. Dan di antara ketiga hal atau dimensi tersebut analisa saya manusia tidak menempati strata pertama dari segi kebermanfaatan dalam ke tiga dimensi tersebut. Saya akan berikan contoh sederhana:
1. Lebah menghasilkan madu yang dapat digunakan manusia untuk menjaga fitalitas.
2. Ulat Sutra menghasilkan benang dengan kualitas tinggi, yang bermanfaat bagi manusia untuk menunjukkan derajat kekayaan.
3. Domba rela kedinginan karena bulunya di kuliti untuk memenuhi kebutuhan sandang manusia.
4. Sapi rela mengorbankan nyawa hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia.
5. Bahkan hewan yang sering kita anggap menjijikkan “cacing” membantu menyuburkan tanah agar tumbuhan dapat tumbuh dengan baik.
6. Dan kadang kita suka lupa jika hewan dengan struktur yang sederhana seperti bakteri pengurai sangat berperan untuk menguraikan kotoran kita.
7. Kupu-kupu yang selama ini kita anggap hanya sebagai binatang estetika, ternyata merupakan indikator kebersihan lingkungan.
Beberapa contoh di atas adalah sekelumit manfaat binatang bagi kita manusia. Statement saya tentang strata manusia yang tidak bisa berada di atas, sedikit mulai terjawab di sini. Milyaran manusia di dunia ini tapi yang bisa memberikan manfaat bagi makhluk lain tidak lebih dari 5%-nya, dan selebihnya hanya mampu bergantung pada kedua makhluk lainnya. Ketika ada beberapa binatang yang rela mengorbankan diri (sapi, ayam, ikan) lalu apakah kita mampu mengorbankan diri kita untuk kemaslahatan makhluk hidup lain (analogi tidak berarti mengorbankan diri sama dengan kanibal).
Jika sebagian dari kita menganggap bahwa kita adalah makhluk paling bermanfaat bagi kelangsungan dunia dan kelangsungan hidup makhluk hidup di muka bumi ini. Lalu bagaimana dengan penyebab global warming yang kini gencar dikampanyekan?, bagaimana dengan nasib beberapa species yang musnah karena perburuan liar?, bagaimana nasib para penyandang cacat akibat industrialisasi di China?, dan bagaimana dengan bagaimana-bagaimana yang lain?. Bahkan untuk menjaga spesies kita (manusia) kita belum mampu. Kita sebagai manusia cenderung egoisentris dan dan hanya mementingkan kelangsungan hidup kita sendiri saja.

Jika anda mulai setuju dengan argumen saya, mari kita mulai mempertanyakan derajat akal budi dibanding insting. Saya pikir kita sepakat bahwa tingkat akal budi jauh lebih tinggi dibandingkan insting, jika insting hanya mampu memberikan perintah untuk “iya” atau “tidak” untuk melakukan sesuatu. Maka, akal budi mampu memberikan suatu implikasi (dampak) bagi keputusan atau tindakan yang kita perbuat. Jika kita memahami perbedaan di antara keduanya adalah seperti itu, lalu bagaimana dengan peran fungsi otak tersebut terkait pengimplementasian (laku dan sifat). Dari penjabaran saya di atas bahwa makhluk yang hanya mengandalkan insting merupakan makhluk yang dalam kenyataannya jauh lebih bermanfaat bagi makhluk lain. Lalu, apakah kita telah salah menempatkan akal budi pada tingkatan yang jauh lebih tinggi dibanding insting?. Jawabannya adalah “tidak” struktur akal budi merupakan komponen paling kompleks yang mampu bekerja lebih baik, dan lebih banyak dibandingkan insting. Perbedaannya adalah ketika binatang menggunakan insting untuk mekanisme kelangsungan hidup (walau terkadang semua tindakan insting terdorong oleh nafsu), sedang manusia menggunakan nafsu (hasrat yang berlebihan) pada tataran akal budi. Akal budi kita sering dikacaukan dengan perang nafsu (insting untuk berbuat berlawanan dengan akal budi) yang berakibat tindakan kita adalah segala tindakan yang berujung pada egoisentris dan sentimen pribadi.



Di penghujung akhir, setidaknya saya menyimpulkan bahwa pada dasarnya Setiap makhluk, dan setiap apapun kita pasti melakukan sesuatu. Sesuatu yang kita lakukan pasti memiliki 4 dampak
1. Bermanfaat untuk kita
2. Bermanfaat untuk orang lain
3. Merugikan diri kita sendiri
4. Merugikan orang lain
Ke empat implikasi tersebut di atas, hanya kita yang dapat menentukannya, dan lagi-lagi peran akal budi dituntut untuk membuat keputusan yang terbaiki bagi diri sendiri, makhluk lain, dan alam.

0 komentar: