KARTINISME : Wanita yang Terus Berjuang Menjadi Perempuan


Wanita itu selalu berjalan dengan berjongkok menghinggapi si empunyanya

Entah mengapa kakinya tidak dipergunakan dengan baik

Melayani itu harus di bawah

Pantang sejajar dengan si empunya nyawa dan dirinya..

(sepenggal ilustrasi masa priyayi jawa dalam gambaran tetralogi Bumi Manusia Pramudya Anantatoer)

Kain putih itu selayaknya KUbangAn keberanian

Ya…benar.. DaRah itu selalu mengidentikkan keberanian

Dan dia yang bersama kubangan darah adalah ia dengan kodrATnya sebagai perempuan

Rumus dasar

Perempuan = KUADRAT = produsen dua produk: kehidupan (manusia), cinta & kasih sayang (sebagai implikasi dari konsep “mothering” kepada anaknya)

(diksi dalam masih adakah perempuan seperti dia..soon..)

Dalam perjalanannya, sejarah tidak pernah berpihak pada perempuan. Sejarah selalu menceritakan kegagahan dan keberanian laki-laki dalam mengukir sejarah, tanpa sedikitpun menyentuh perempuan sebagai bagian dari kehidupan sosietas laki-laki tersebut. Sejarah tidak pernah secara eksplisit menyebutkan peran perempuan dalam upaya pengukiran peristiwa dari suatu peradaban. Dalam historisitasnya, perempuan selalu digambarkan sebagai makhluk kelas dua setelah laki-laki, dalam pengertian yang lebih frontal bahwa perempuan ada untuk melayani laki-laki dalam upaya laki-laki mengukir sejarah. Hegemoni ini mutlak terpelihara selama berabad-abad dan perempuan seakan nyaman dengan kondisi ini. Betapa tidak, menjadi nyonya besar yang selalu bergelimangan materi dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang selalu disuplai oleh laki-laki menjadikan kenyamanan ini terus terpelihara hingga saat ini. Salahkah situasi ini?, jelas sama sekali tidak! Selama perempuan masih tetap mau dan nyaman menjadi “Nyonya Bambang”, “Nyonya Badrun”, dan nyonya-nyonya lainnya tanpa identitas diri yang sebenarnya. Dan identitas ini akan terus melekat hingga akhir hayatnya bersama dengan lelakinya. Kenapa anda (perempuan) tidak merasa nyaman menjadi “Nyonya Asti” “Nyonya Tini” dan nyonya-nyonya yg lain yang memiliki identitas pribadi yang telah terberikan dari lahir. Secara tidak langsung pengenaan identitas ini memasung hak-hak perempuan untuk menjadi pribadinya sendiri secara utuh dan mandiri.

Bukan fenomena aneh ketika tepat dipagi hari ini tanggal 21 April banyak anak-anak TK dan mungkin SD berbondong-bondong melakukan karnaval dengan menggunakan baju daerah.

Salahkah dengan perayaan ini?

Sama sekali tidak, seorang anak hanya akan meniru dan mengikuti apa yang orang terdekatnya katakan dan perintahkan. Mengajarkan nilai-nilai budaya sedini mungkin sama sekali tidak ada salahnya (dengan cara berarak-arakkan dengan menggunakan baju daerah). Namun yang perlu menjadi perhatian serius adalah, apa urgensinya bagi selebrasi perjuangan kartini di masa lampau?. Yang lebih parah lagi, para orang tua dan guru-guru mereka pun ikut membaur dengan perspektif yang sama dari setiap anak setiap tahunnya “hari kartini adalah saatnya berarak-arakkan menggunakan pakaian daerah”. Lalu apakah selebrasi ini hanya diartikan kembali dengan : mengkainkan tubuh dengan sehelai batik dan brokat hitam ketat bersanggul besar dibelakang kepala yang jelas-jelas adalah tradisi “menata” perempuan menjadi “bekisarnya” tuan-tuan tanah di Jawa ketika masa penjajahan dulu. Memang diperlukan pencerdasan lebih jauh terhadap pemahaman ini, jangan sampai anak-anak kita ke depan akan selalu dibekali dengan pemahaman terhadap perjuangan perempuan (Kartini) yang keliru. Selebrasi mutlak diperlukan untuk tetap menjaga semangat perjuangan perempuan, namun pengemasan terhadap selebrasi tersebut mutlak memerlukan suatu pencerdasan akan pengingatan kembali perjuangan terdahulu agar nilai-nilai perjuangan tersebut tidak tereduksi oleh perkembangan zaman.

Urgensi Pendidikan Bagi Perempuan : Dilema Antara Cerdas = dapur,kasur,sumur!

Sudah menjadi pandangan umum bahwa hilir dari perjuangan dan eksistensi perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga yg akan selalu berhubungan dengan dapur, kasur, dan sumur. Setinggi apapun pendidikan perempuan tersebut pasti akan berujung pada pengabdiannya terhadap keluarga (suami & anak). Lalu sekarang pertanyaannya, untuk apa pendidikan tinggi bagi perempuan jika karirnya kelak hanya berujung di rumah?. Bagi saya pandangan ini bisa diterima secara actual, namun bisa juga diperdalam secara kritis agar jauh lebih bermanfaat aplikatif. Bagi saya perempuan mutlak harus berpendidikan tinggi, karena setidaknya dialah sosok guru pertama yang akan memberikan pencerdasan kepada anak-anak saya kelak. Pendidikan ideal mutlak berlangsung dan berawal dalam ranah keluarga, dan ibu merupakan sosok terdekat bagi kelangsungan perkembangan anak. Perempuan berpendidikan adalah suatu keharusan, karena dialah yang nanti akan menceritakan keholistikan dunia ini kepada anaknya, tanpa pendidikan perempuan niscaya hanya akan menceritakan pengalaman pribadinya dalam lingkup kecil kesehariannya.

Lalu apakah pendidikan bagi perempuan hanya akan berimpikasi positif terhadap perkembangan anaknya tanpa bisa membuat pribadinya berkembang?. Sejatinya dengan berupaya menjadi produsen pentransfer ilmu dan pengalaman kepada anaknya, seorang perempuan secara tidak langsung melakukan usaha pengembangan diri secara dua arah, di satu sisi bagi dirinya sendiri di lain sisi memberikan pencerdasan kapada orang lain (anaknya). Jadi tidak ada alasan bagi peempuan untuk tidak berkembang di rumah mulai dari sekarang.

Perempuan secara kodrati memang terbatasi dengan kondisi fisiologinya,

Namun keterbatasan itulah yang menjadi kekuatan sebagai produsen peradaban

Bukan hanya itu, perannya sebagai supervisor dalam mendidik benih-benih pemimpin mutlak menjadi sorotan utama fungsi perempuan dalam menentukan arah peradaban kedepannya

Untuk itu kenapa hanya mau menjadi WANITA (Wong Sing di Toto “oleh laki-laki”), mulai sekarang kalian harus berani dan lantang mengatakan “SAYA PEREMPUAN!” dan masa depan peradaban ini ada ditangan saya..

Andy Setyawan

Refleksi Peringatan Hari Kartini 21 April 2011

Selengkapnya...