Kenapa Harus Merdeka? : Refleksi 65 Tahun Kemerdekaan Indonesia




Percaya atau tidak, sering kita hanya mengumandangkan lagu Hari Merdeka setidaknya hanya 1 hari (bahkan mungkin 1 x) dalam setahun. Padahal, (menurut saya sendiri) lagu itulah yang mewakilkan semangat kita berada dalam bangsa yang merdeka. Lalu sekarang muncul pertanyaan, apa iya kita menjadi bangsa yang merdeka hanya 1 kali dalam satu tahun?, atau mungkin kita memiliki alibi lain bahwa lagu Hari Merdeka tersebut hanyalah sebagai jargon penyemangat dalam rangka “memeriah-riahi” miladnya bangsa kita setiap tahun. “Ok jika begitu, saya tampung statemennya!”, dan saya kembali bertanya “kalau begitu berarti memang bangsa kita sudah benar-benar merdeka ya, dan lagu itu hanya sebagai identitas kemerdekaan bagi bangsa kita saja?”. Lalu apa kabar dengan peran IMF kepada kita yang cenderung mengintervensi kebijakan sektoral kita, apa akabar dengan BUMN-BUMN kita yang mulai go public dan dimiliki oleh asing, dan apa kabar dengan kekayaan alam kita yang selalu dikeruk tanpa sedikitpun disisakan untuk anak cucu kita kelak?”.
Saya mencoba mencari makna harafiah dari konsep merdeka itu sendiri, setidaknya dalam KBBI “merdeka” diartikan sebagai bebas dari perhambaan, penjajahan (berdiri sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 itu, bangsa kita sudah tidak terkena atau lepas dari tuntutan) terutama dari penjara seumur hidup. Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Sedang, kemerdekaan sendiri berarti keadaan atau hal berdiri sendiri (bebas lepas tidak terjajah lagi. Jika kita melihat konteks merdeka di sini, sangat jelas bahwa arti kemerdekaan sangat lekat erat dengan upaya perjuangan pembebasan Indonesia dari penjajahan, hal ini ditandai dengan masuknya konteks pembebasan 45 dalam definisi merdeka dalam KBBI. Dalam definisi ini, seakan keadaan lepas dalam penjajahan sebelum masa pejajahan belanda sama sekali tidak diperhitungkan. Setidaknya beberapa abad lalu sebelum penjajahan Belanda, bangsa kita pernah mengalami kemakmuran dan kejayaan (walaupun dalam level lokal kerajaan). Di sini definisi kemerdekaan telah terkotakan hanya pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, seakan dalam kondisi ini ketika kita telah lepas dari penjajah, inilah hakikat dari kemerdekaan bagi Indonesia yang sebenarnya. Dalam definisi tersebut, juga disebutkan bahwa merdeka adalah tidak terikat dan tidak bergantung kepada siapapun, namun sekarang kita dapat melihat dan merasakan sendiri, apakah kita sudah benar-benar bisa mandiri dan tidak tergantung kepada bangsa lain atau tidak?.



Mari kita coba melihat lebih jauh tentang ketidakberdayaan kita melawan intervensi asing. Contoh pertama adalah intervensi asing yang cukup terlihat dalam kebijakan perundang-undangan kita, misalnya Undang-undang antiterorisme. Sangat jelas di sana bahwa pemerintah kita seakan diintervensi untuk membuat undang-undang tersebut yang sudah jelas-jelas melanggar norma-norma hukum. Tidak hanya itu sebagian besar pasal yang terdapat di dalamnya tidak “clear & distinct” (tidak jelas terpilah-pilah) menjelaskan permasalahan-permasalahan HAM, banyak pasal yang ambigu dan multi tafsir (due process of law). Dengan adanya undang-undang ini menyebabkan terjadinya resistensi hukum Indonesia yag ke depannya dapat menimbulkan efek negatif bagi penegakkan hukum di Indonesia.
Contoh lain yang telah dibuka ke ranah publik dan dipublikasikan adalah pengakuan dari John Perkins dalam bukunya The Confession of Economic Hit Man mengenai intervensi listrik dunia (terkait bidang keahlian Perkins sendiri). Pengakuan itu ditulis karena didorong oleh rasa bersalah, bahwa kerjanya 30 tahun lalu itu telah membuat rakyat menderita di berbagai negara tempat dulu ia bekerja sebagai "konsultan" untuk memuluskan semua program intervensi negara besar terhadap negara sasaran, termasuk Indonesia.
Awal tahun ini, salah satu putra terbaik bangsa Sri Mulyani yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri keuangan di tunjuk oleh Bank Dunia menjadi salah satu direktur World Bank. Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan diangkatnya Sri Mulyani ini adalah prestasi terbaik yang diraih putera bangsa, namun jika kita lihat lebih jauh, pengangkatan ini merupakan suatu intervensi internal bangsa utk kepentingan lain diluar kepentingan bangsa.
Belakangan, pemerintahan AS melalui menteri luar negerinya melakukan intervensi terhadap dunia perfilm-an Indonesia dengan begitu banyaknya film Hollywood yang masuk ke Indonesia dengan proses sensoritas yang longgar. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap perkembangan dunia perfilm-an dalam negeri. Realitas ini merupakan suatu konsekuensi dari ekspor tekstil Indonesia ke AS yang tidak seberapa besar, bahkan terakhir ada ancaman dari pemerintahan AS jika film Hollywood tidak bisa masuk dalam pasar industri showbiz Indonesia, maka ekspor tekstil Indonesia ke Amerika akan dihentikan.
Bentuk intervensi yang lebih kasar adalah pengerahan pasukan militer. Pada 2004, komandan pasukan AS di Pasifik, Laksamana Thomas B Fargo, telah mengusulkan kepada kongres AS untuk menempatkan pasukannya di Selat Malaka. Tahun 2009, kapal induk AS memasuki perairan Natuna. Setelah digiring TNI AL merekapun menjauh. Atau bahkan contoh yang paling baru adalah intervensi militer Malaysia yang telah berani memasuki batas wilayah NKRI, dan seakan kita bangsa Indonesia tidak mampu berkutik apa-apa terhadap permasalahan serius itu.
Dari beberapa contoh di atas, setidaknya menurut saya intervensi dalam dunia pendidikan Indonesialah yang jauh lebih berbahaya. UNESCO mendesak negara anggota G8 untuk menerapkan sistem “lifelong learning" dengan tujuan untuk mendidik buruh global dunia. Jika sistem ini diterapkan, maka kearifan lokal tidak masuk lagi ke dalam kurikulum, dan nilai-nilai lokal khas Indonesia tidak akan pernah dipelajari oleh pelajar Indonesia. Kunci perubahan ini adalah perubahan kurikulum dari fokus akademis ke fokus vocational, tapi dengan tambahan perubahan nilai para murid untuk melayani Negara yang persis ideologi negara komunis.
Berdasarkan contoh intervensi asing di atas setidaknya kita perlu mendefinisikan ulang konsep kemerdekaan bagi negeri kita ini. Begitu banyak campur tangan asing yang mengganggu kedaulatan bangsa kita, setidaknya ini terfokus pada 3 aspek: aturan (kebijakan), penetapan orang, dan agresi milliter. Ketiga bidang ini merupakan ranah sentral dalam suatu penegakkan pemerintahan negara. Jika sebuah bangsa masih dinahkodai oleh bangsa lain dalam 3 bidang ini, maka sejatinya bangsa tersebut belumlah benar-benar merdeka.
Oleh karena itu, Menurut saya definisi kemerdekaan yang saat ini dipakai sangat kurang tepat diimplementasikan pada zaman sekarang, definisi tersebut mengandung ambiguitas yang cukup tinggi dengan kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda. Kemerdekaan sangat erat kaitannya dengan “kebebasan” dan kebebasan tersebut tak lain merupakan suatu keadaan di mana tidak sama sekali terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya secara leluasa. Lepas dari kewajiban tuntutan, perasaan takut dan sebagainya, tidak terikat atau terbatas oleh aturan. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dikaitkan dengan kondisi negara kita bahwa kita sebenarnya belum benar-benar bebas, yang berimplikasi pada belum sebenar-benarnya merdeka.
Dari penjabaran di atas, pada intinya saya mungkin lebih senang menyebutnya “Kemandirian yang terarah”. Seseorang yang mandiri adalah ia yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, mampu memutuskan dan memiliki hak utk memutuskan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Mandiri belum tentu bebas merdeka, namun kemandirian adalah benih pencapaian kemerdekaan. Berdasar itu, saya menganggap posisi bangsa kita adalah bangsa yang mencoba mandiri (independen) yang mengarah kepada kemerdekaan. Hal ini penting diluruskan agar kita tidak terlena akan buaian yang dibawa oleh konsep “kemerdekaan” karena hal ini hanya akan membuat kita nyaman berada dalam jalur safety kemerdekaan, tanpa mau bangun dan menyadari bahwa kita sebenarnya belum benar-benar merdeka.
Namun saya pikir kita tidak perlu khawatir terhadap statement saya bahwa sebenarnya kita belum sebenar-benarnya merdeka. Saya hanya ingin mengajak rekan-rekan sekalian untuk kembali berjuang (namun bukan dengan bambu runcing atau dengan senapan). Saya ingin mengajak rekan-rekan yang sekarang masih duduk dibangku sekolah untuk belajar dengan giat dan fokus mengejar apa yang anda cita-citakan (ingat cita-cita masa depan kalian yang secara tidak langsung juga bersinggungan dengan masa depan bangsa, missal: jika anda memutuskan untuk menjadi dokter maka akan lahir dokter baru bagi Indonesia kelak). Bagi anda yang duduk di bangku kuliah, jangan hanya fokus kuliah, mulailah belajar berorganisasi dan berkontribusi bagi kemaslahatan orang banyak hal ini karena universitas adalah miniatur kehidupan berbangsa dan bernegara, semakin anda aktif dalam berorganisasi maka semakin baik sosialisasi dengan orang banyak, dan tau apa permasalahan yang dihadapi orang lain, dan berharap bisa membantu menyelesaikannya. Bagi anda yang sekarang bekerja, mulailah menjadi professional sejati, bukan hanya bekerja demi kesejahteraan pribadi dan keluarga, karena dengan menjadi professional maka kesejahteraan merupakan sebuah implikasi logis dari proses tersebut. Menjadi profesional penting untuk mendidik banga ini menjadi bangsa professional yang tidak mudah diperdaya oleh bangsa lain. Dan bagi anda yang belum melakukan apa-apa, ada baiknya anda menghilang saja dari muka buni ini, karena anda hanya menjadi beban bagi bangsa ini untuk meraih kemerdekaan sejati.

Selesai rabu 18 Agustus 2010 pkl:00.00, dari riset kecil ttg kontradiksi Jakarta pusat di antara kemegahan istana negara dan gelandangan di monas dan pasar senen.

0 komentar: