Jalesveva Jayamahe "Di Laut Kita Jaya"


Paradigma masyarakat Indonesia tentang laut cenderung berbeda dengan realitas, laut diidentikkan sebagai kolam pembuangan, seperti adanya kasus-kasus pembuangan limbah-limbah industri, libah rumah tangga dan limbah pertanian ke laut seakan bahwa laut itu tak ubahnya seperti tempat sampah. Pandangan bahwa ketersediaan ruang yang luas untuk menyembunyikan kotoran-kotoran produk manusia menjadi signifikan ketika tidak ada perhatian serius dari pemerintah selaku pemangku kebijakan. Oleh Karen aitu, kondisi ini perlu menjadi sorotan yang tajam baik oleh pemerintah maupun praktisi di bidang bahari. Sangat ironis, mengingat sekitar 75% wilayah negara ini terdiri dari lautan dengan ribuan pulau yang terbentang dari Merauke sampai Sabang dan dari Rote hingga Sangir Talaud, yang memiliki begitu banyak potensi yang perlu dikelola untuk kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.

Laut adalah salah satu sumber penghidupan utama bagi manusia, sifatnya produktif dan hidup, walaupun sifatnya produktif, laut tidak memerlukan maintenance dari manusia itu sendiri. Ke-maintenance-nya telah terberi dari mula laut itu terbentuk dengan air sebagai unsure utama produktivitasnya. Namun, bukan berarti sifat tidak perlu termaintenance ini diartikan kebablasan menjadi ladang eksploitasi dan tempat penyembunyian segala momok dan kotoran produk manusia.

Potensi bahari yang identik dengan sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan bahari dan jasa bahari tidak mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah karena pemerintah lebih menekankan pada kebijakan pembangunan berbasis continental. Potensi bahari Indonesia begitu besar karena luasan serta posisi geografis yang sangat strategis. Hal ini sangat terkait dengan sektor ekonomi yang merupakan barometer kemajuan suatu bangsa. Untuk itu sudah selayaknya jika pemerintah mulai mengalihkan arah kebijakan ke pembangunan yang berbasis bahari.

Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan menyebutkan potensi sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,408 juta ton per tahun yang terdiri dari pelagis besar sekitar 1,165 juta ton per tahun, pelagis kecil sekitar 3,605 juta ton per tahun, demersal sekitar 0,145 juta ton per tahun dan udang, termasuk cumi-cumi sekitar 0,128 juta ton per tahun. Dalam konteks pembangunan sektor perikanan tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah membagi wilayah perairan Indonesia menjadi 9 wilayah pengelolaan perikanan (WPP), mulai dari Selat Malaka hingga Laut Arafura. Dilihat dari konteks WPP ini, potensi sumberdaya perikanan terbesar terdapat di WPP 1 (Samudera Hindia) di mana tercatat memiliki potensi sumberdaya perikanan sebesar 1.076.890 ton per tahun, kemudian diikuti oleh WPP 2 (Laut Cina Selatan) sebesar 1.057.050 ton per tahun. Sedangkan potensi sumberdaya perikanan terkecil terdapat di WPP 1 (Selat Malaka) yaitu hanya sebesar 276.030 ton per tahun.

Potensi sumber daya mineral bahari tersebar pada jalur tektonik mulai dari kawasan pantai hingga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nation Conventions On The Law of The Sea), Indonesia diberikan hak kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi pengelolaan sumber daya hayati dan non-hayati, penelitian dan yuridiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Batas terluar dari ZEE ini adalah 200 mil dari garis pantai pada saat surut terendah. Pada umumnya mineral-mineral tersebut terperangkap di dalam lapisan sedimen, mulai dari sedimen permukaan berumur Kuarter hingga ribuan meter di bawah dasar laut pada sedimen tersier. Sumber daya mineral penting yang mampu mendukung kegiatan industri pertambangan adalah endapan hidrotermal yang pembentukannya dipengaruhi oleh kegiatan magmatis, dan endapan mineral sedimen yang berasosiasi dengan pengendapan sedimen. Sumber daya mineral lepas pantai yang telah diidentifikasi adalah: Timah yang merupakan endapan letakan (placer deposit), Fosforit berupa fospat kalium, Kerak dan nodul oksida yang berindikasi mangaan, Kobal, pasir besi, lumpur logam besi, kromit yang berasosiasi dengan batuan ultrabasa-ofiolit dan Mineral zirkon dan monasit, serta karbonat dan agregat untuk bahan konstruksi.

Potensi bahari ini akan berpengaruh terhadap perkembangan usaha transportasi laut karena meningkatnya kegiatan ekspor – impor, sehingga para pelaku usaha di bidang transportasi laut boleh menaruh harapan akan bangkitnya kembali bidang ini. Untuk menggairahkan transportasi laut perlu diupayakan berbagai kebijakan yang mendukung. Pelabuhan sebagai bagian integral dari transportasi laut nasional mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena merupakan wahana pokok dalam meniadakan kesenjangan ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah nusantara dengan segala keberagamannya. Sehingga dalam pembangunan dan penataannya tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomis semata tetapi harus memandang kepentingan bangsa secara utuh. Untuk lingkungan regional, disepakatinya perdagangan bebas di kawasan ASEAN (AFTA), kerjasama sub regional di kawasan Asia Tenggara seperti SIJORI (Singapore-Johor-Riau), IMS-GT (Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle), IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle) dam BIMP-EAGA (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia- Philippines East Asia Growth Area) harus menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan di bidang kepelabuhanan. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai international hub port (pelabuhan pengumpul internasional) yang diharapkan bisa mengurangi cost akibat transit di Singapura. Diperkirakan penghematan bisa mencapai US$ 500 juta per tahun. Karena selama ini, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia masih bersifat pengumpan (feeder) dan belum menjadi pelbuhan dalam seperti di Singapura dan Malaysia.

Menurut data statistik Indonesia mempunyai peti kemas 5,3 juta twenty feet equivalent unit’s (TEU’s) per tahun. Sebanyak 90% dari jumlah tersebut dikirim dulu ke Singapura kemudian baru dilanjutkan ke negara tujuan ekspor. Untuk impor barang pun berlaku hal yang sama. Artinya ada sekitar 9,4 juta TEU’s yang keluar dan masuk Indonesia setiap tahun. Potensi transportasi laut ini mutlak harus mendapatkan perhatian serius dari beberapa kalangan baik pemerintah maupun swasta, agar dapat sama-sama bersinergi menguatkan transportasi laut kita.

Potensi SDA bahari yang masih alami tentunya akan berimplikasi pada potensi keindahan alam yang dapat dimanfaatkan pada sector industri pariwisata. Contoh konkrit yaitu potensi terumbu karang di wilayah perairan Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km2. Kegiatan pariwisata bahari selama ini terkonsentrasi antara lain di kawasan perairan Sunda Kecil (Bali, Lombok dan sekitarnya), Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Sebagai contoh, untuk kawasan wisata surfing, lokasi seperti Nias, Pulau Weh, Pulau Asu, Pantai Sorake di Sumatera, Pulau Panaitan, Pulau Deli di Jawa, Madewi, Balian, Canggu di Bali, dan Teluk Ekas, Labuhan Haji di Nusa Tenggara. Selain itu beberapa tempat di Sulawesi dan Papua sangat baik dikembangkan menjadi obyek wisata bahari. Untuk lokasi diving (penyelaman bawah laut), beberapa daerah seperti Ujung Kulon, Kepulauan Seribu dan kawasan Krakatau di Jawa, Pulau Menjangan, Tulamben di Bali, kawasan Banda di Ambon, Gili Trawangan, Meno dan Air di Lombok merupakan beberapa contoh lokasi wisata bahari yang terkenal dengan lokasi penyelaman terbaik di dunia. Walaupun pada kenyataannya hampir semua wilayah perairan Indonesia menawarkan potensi pariwisata yang dapat dieksplor untuk meningkatkan devisa Negara.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah juga telah berupaya untuk mengembangkan sektor kebaharian kita. Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

beserta peraturan pelaksananya diharapkan bisa mendorong peningkatan usaha di sektor

maritim, seperti industri pelayaran, galangan kapal, jasa kepelabuhanan, perikanan, dan

lainnya. Apalagi seluruh potensi maritim Indonesia bisa menjadi andalan sebagai sumber

perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun walaupun begitu, implementasi dari UU ini harus mengedepankan semangat nasionalisme dan untuk kepentingan public bukan untuk kepentingan pribadi semata. Karena dalam aktualisasinya hampir 70% bisnis pelayaran dikuasai pihak asing. Dan upaya pengeksplorasian sektor perikanan tangkap di laut, baru dioptimalkan sebesar 40 persen dari potensi yang ada.

Oleh karena itu, ini menjadi tantangan besar bagi kita generasi muda untuk bersinergi bersama membangun dan mengembangkan sektor bahari kita. Luasnya wilayah perairan kita menuntut SDM ahli untuk bergerak menguasai ilmu kelautan dan kebaharian kita agar kekayaan laut kita dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Jalesveva Jayamahe

Di laut kita Jaya

0 komentar: