Merajut Doa Menggapai Harapan dalam Rongsokan Puing Itu

Merajut Doa Menggapai Harapan dalam Rongsokan Puing Itu

(Refleksi kritis terhadap musibah gempa padang)



Love God, He would be with you. Obey him and he would show the secret of the truth

“Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan hingga Minggu (4/10/2009) pukul 09.00 WIB korban tewas akibat gempa bumi 7,6 SR di Sumatera Barat (Sumbar) mencapai 603 orang. Sekitar 343 warga dinyatakan masih hilang. "Sebanyak 412 orang luka berat, 2.096 orang luka ringan dan 736 orang masih mengungsi. Korban terbanyak saat ini berasal dari Kab. Padang Pariaman dengan 276 tewas dan korban tewas dari kota Padang mencapai 231 orang,". BNPB juga mencatat, 83.172 unit rumah mengalami kerusakan berat, 32.312 rusak sedang dan 64.145 rusak ringan. Selain itu, sarana kesehatan yang rusak berat berjumlah 25 unit, sekitar 135 fasilitas pendidikan mengalami kerusakan parah, serta 4 jembatan masing 2 jembatan di Kabupaten Solok dan 2 jembatan di Kabupaten Agam mengalami kerusakan berat” (detik.com, diakses 4/10/09, pkl: 18.00)

Sebuah term: “Banyak orang yang menganggap bahwa ketika tengah ditimpa musibah atau bencana, maka pada saat itu mereka beranggapan bahwa Tuhan tengah murka kepada kita, dan pada saat itu keputus asaan melanda kita sejadi-jadinya”.

Padahal jika kita menganalogikan kasus tersebut pada sifat dan sikap manusia, term di atas tidak dapat ditangkap logis secara nalar. Maksud saya seperti ini, ketika suatu ketika atasan saya marah kepada saya. Maka, “kemarahan” atasan saya adalah buah dari kekecewaan atasan saya terhadap pekerjaan saya yang tidak beres (dalam hal ini kausalitas/ hukum sebab akibat berlaku). Contoh mudah yang lebih konkrit adalah tidak mungkin ada asap tanpa terlebih dahulu adanya api. Kembali ke term di atas dan mengapa saya bilang anggapan seperti di atas tidak logis, karena ada dalam diri manusia sikap egoisentris yang jika dibombardir oleh sanggahan-sanggahan yang bersifat immaterial (statement) maka ia tidak dapat goyah sedikitpun. Maksud sederhana saya misalnya ketika kita sedang berdebat tentang mengapa tingakat kecelakaan lalu lintas banyak terjadi pada pengendara sepeda motor dan apa penyebab-penyebabnya, maka masing-masing kita akan memiliki pembenaran tentang hal tersebut. Pun ketika anggapan kita tidak diterima oleh orang lain maka tetap di dalam diri kita sendiri, kita akan terus menganggap bahwa pendapat kitalah yang paling benar. Lalu jika begitu apakah sampai seterusnya manusia tidak akan pernah memiliki 1 anggapan yang sama terhadap sesuatu hal?, dan jawabannya adalah ada satu titik ketika kita akan memiliki 1 persepsi yang sama terhadap sesuatu, dan jawabannya adalah ketika secara bersama-sama kita dihadapkan pada fakta riil yang tengah kita perdebatkan. Contoh konkritnya adalah: kita pasti akan memiliki persepsi yang sama terhadap berbagai macam penyebab kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor, ketika saya dan anda bersama-sama berboncenga mengendarai sepeda motor dan pada saat yang bersamaan kita mengalami kecelakaan (naudzubilah). Maka setelah itu kita akan memiliki 1 persepsi yang sama yaitu bahwa kecelakaan terjadi karena kita tidak hati-hati, dan tidak mematuhi peraturan lalu lintas.

Analogi ini dapat kita turunkan pada kasus gempa Padang. Berbondong-bondong para ahli mengemukakan macam-macam penyebab terjadinya gempa, kronologis peristiwa, mengapa bisa timbul banyak korban jiwa, dan lain-lain tentang gempa padang dengan berbagai teori-teori ilmiah, dan tak jarang sanggah menyanggah terjadi di antara mereka. Namun jika kita bertanya pada para korban yang mengalami musibah tersebut, maka kita akan mendapatkan fakta yang sama bahwa mereka punya satu pandangan yang sama pada musibah tersebut, yaitu “karena kita kurang bersyukur”

Kembali pada term sebelumnya. Selama ini kita tidak fair dengan Tuhan, dalam pengertian lain, tanpa kita sadari kita tidak pernah berbuat “take & give” kepada Tuhan. Padahal formula hubungan take & give ini adalah awal pembentuk hubungan kausalitas. Misalnya, ketika kita tengah diberikan banyak rezeki oleh Tuhan kita jarang sekali bersyukur terhadap perolehan rezeki itu. Dan ketika kita tengah ditimpa musibah, maka dengan semena-mena kita akan menghujat betapa jahatnya Tuhan kepada kita. Karena tidak adanya hubungan take & give ini, maka berimbas pada tidak baiknya hubungan kausalitas diantara keduanya (manusia & Tuhan). Dan kejadian itu bisa kita lihat pada musibah gempa di Padang.

Stick to the fight when you’re hardest hit, when things go wrong you mustn’t quit

Term 2 : “masih banyak orang yang berbuat keji dan mungkar di luar sana, tapi mengapa hanya kami yang ditimpa musibah….”

Ke-individualitasan pribadi pada diri manusialah yang akan selalu menuntun kita untuk tidak pernah berefleksi diri dan tidak pernah mau untuk mengintrospeksi diri kita sendiri. Pada kenyataannya kita akan sangat mudah sekali untuk menilai seseorang itu baik atau tidak baik, dan benar atau tidak benar. Namun sebaliknya, sangat sulit sekali bagi kita untuk menilai apakah perbuatan kita itu baik atau tidak baik, dan benar atau tidak benar. Karena sampai kapanpun kita akan selalu memiliki pembenaran terhadap setiap keyakinan kita (walaupun keyakinan itu salah). Manusia adalah makhluk pembanding, dan kita tidak akan pernah puas selama kita belum membandingkan apa yang kita miliki dengan milik orang lain. Kita selalu membandingkan bahwa diri kita tidak jauh lebih berdosa dibandingkan orang lain, padahal tidak ada seorangpun yang mengetahui tingkat kebaikan dan keburukkan setiap orang.

If you get your self into a hole, stop digging

Bahkan ketika tengah mendapatkan teguran yang keras masih saja ada sebagian manusia yang memanfaatkan teguran Tuhan itu untuk memperoleh keuntungan sepihak. Sebagai contoh sederhana saja, hari ini (minggu, 4/9/2009) 1 stasiun televisi membuat vt siaran untuk membuat pernyataan kebanggaan bahwa stasiun TV mereka merupakan stasiun TV tercepat yang menayangkan berita tentang gempa Padang, hanya siaran dari stasiun TV mereka yang dipakai dan disiarkan oleh stasiun TV internasional, dan semata-mata itu semua digunakan untuk mendongkrak rating. Atau contoh lainnya ketika pejabat pemerintahan yang kebetulan menjadi calon ketua salah satu parpol mengadakan acara pribadi di suatu stasiun TV dan mendeklarasikan bahwa ia adalah orang yang dianugrahkan rezeki finansial yg banyak oleh Tuhan dan dengan sombongnya ia mengungkapkan dan mempublikasikan bahwa ia akan menyumbang sejumlah Milyarad-an rupiah untuk korban gempa.

Better to light one candle than to curse the dark

Kawan sudah saharusnya kita kembali merefleksikan diri untuk merenungi untuk apa kita sebenarnya hidup di dunia ini. Kita juga mesti sadar bahwa segala fasilitas dunia yang tersedia ini bukanlah milik kita, kita hanya dipersilahkan untuk tinggal, memanfaatkan, dan merawatnya. Dan jika kita ingkar akan hal tersebut, ingatlah bahwa hukum kausalitas itu berlaku di jagat raya ciptaan Tuhan ini. Gempa di Padang hanyalah sebagian kecil dari teguran Tuhan, dan marilah kita bersama-sama mampu mentransformasikan diri kita ke arah yang jauh lebih baik. Bukan tangisan dan air mata yang kita dan para korban gempa butuhkan saat ini, namun perubahan sikap hidup yang mampu menselaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat yang mutlak diperlukan kedepannya. Oleh karena itu, saat ini marilah kita rapatkan jemari kita dan bersimpuh padanya untuk memohon ampun dan berjanji akan selalu bersyukur terhadap setiap nikmat yang diberikannya untuk kita. Agar kelak kehidupan kita di dunia akan selalu berdada di bawah ridho dan hidayahnya. Amin….


Andy Setyawan
Ka. Dewan Perintis KIRJAS
Production Management PT Global TV
Ariobimo Sentral, Kuningan, Jakarta
philosophyofawan@yahoo.com/andy.setyawan@globaltv.co.id
filsufgaul.wordpress.com
philosophyofawan.blogspot.com

0 komentar: