Menguak Persamaan Bentuk Opresi yang Dialami Oleh Alam dan Opresi pada Perempuan dari Sudut Pandang Ekofeminisme:
Alternatif Paradigma Berpikir Untuk Menyelamatkan Bumi dari Krisis Ekologi.
ANDY SETYAWAN
Production Managament, GLOBAL TV
A. Bumi & Krisis Ekologi
Telah banyak kita saksikan, hutan dipisahkan dari sungai, ladang dipisahkan dari hutan, ternak dipisahkan dari tanaman. Masing-masing kemudian dikembangkan secara terpisah, dan keseimbangan rumit yang menjamin keberlanjutan dan keseimbangan pun dihancurkan. Setiap pendidikan adalah semacam perjalanan ke dalam. Ekologi adalah pelajaran ke dalam tentang keseimbangan dan beberapa prinsip yang mengatur keseimbangan unsur-unsur yang sehat dalam lingkungan hidup global. Hal ini juga berlaku untuk keseimbangan kekuatan-kekuatan yang sehat pula dalam menyusun sistem politik kita.
Dalam sejarahnya, kita bisa belajar dan mendidik semua generasi tentang alam. Telah kita saksikan misalnya, letusan gunung Tambora di pulau Sumbawa menjelang pertengahan 1815, letusan tersebut telah menelan korban puluhan ribu jiwa. Perubahan iklim dunia akibat letusan itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun, karena debu yang diletuskan ke udara baru jatuh ke bumi setelah masa tiga tahun itu. Letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991 juga cukup mengkhawatirkan. Meski dampaknya secara global tidak selama dan sehebat Gunung Tambora, tetapi letusan itu telah menyebabkan suhu bumi turun, sementara kenyataan peradaban manusia telah menyebabkan betapa suhu bumi telah meningkat dan juga telah mempercepat berkurangnya ozon.
Krisis ekologi, krisis bumi, dan krisis kemanusiaan berlangsung seolah tak berujung. Permasalahan ekologi global tidak bisa diperkirakan dari sudut negara tertentu. Bencana alam pada daerah tertentu berakibat pada alam seluruhnya. Atas dasar ini, dunia tidak dapat dikelola melalui proyek-proyek administrasi dan pengawasan terpusat yang konvensional. Peter F. Drucker menyebut kenyataan itu sebagai "tidak ada lagi keselamatan melalui masyarakat", dan David Korten menyebutnya "akhir dari negara dominan".
Dunia postmodern tampaknya menjadi fenomena kesalingtergantungan global yang merambah ke mana-mana, di bawah pengaruh perubahan yang tanpa disengaja. Kita dihadapkan pada akhir dari narasi besar universal, dengan ketidakmutlakan ilmu pengetahuan, dan dengan kematian masyarakat tertutup, yang semuanya bermula dari Descartes dan Bacon. Seperti dikatakan Drucker dan para peneliti yang lain, tidak ada kebenaran tunggal untuk menjawab masalah sosial tertentu. Sebagai pengganti proyek modern yang universal, kita menghadapi kemajemukan postmodernitas yang tidak dapat dipungkiri lagi dan agak mengancam karena tidak dapat dikontrol.
Bahaya dan krisis politik masyarakat modern yang bertumpu pada teknologi kini bersifat global. Bahaya itu terlihat pada penciptaan teknologi mandiri yang tidak terkendali, dan pada usaha-usaha yang menjadikan bumi sebagai arena berbagai eksperimen. Kecenderungan itu tidak mengarah pada terciptanya keadilan ekonomi dan keadilan sosial, tetapi malah meningkatkan ketidakstabilan ekologi, kekacauan, dan kekerasan.
Seluruh dunia kini sedang mengalami kekhawatiran global mengenai dampak global warming. Bencana alam yang tak henti-hentinya dan kekacauan iklim adalah gejala yang menunjukkan proses terjadinya global warming. Di beberapa tempat bahkan gejala ini terwujud dalam kondisi yang sangat ekstrim dan mengejutkan. Misalnya turunnya hujan salju di Afrika Selatan yang notabene negara ini adalah negara yang terletak di Benua bergurun dan kering. Di beberapa kota besar di Amerika bahkan ditemui asap tebal berwarna merah dan sangat mengganggu pernapasan, hal ini menunjukkan bahwa udara sudah penuh sesak akan polusi.
Di Indonesia sendiri dapat kita temui perubahan iklim yang sangat ekstrim, dimana musim kemarau lebih panjang dari musim penghujan, dan ketika musim hujan datang maka curah hujan sangat besar dan penyerapan tidak dapat mengimbangi jumlah air hujan yang turun sehingga tidak heran kalau terdapat banjir di mana mana, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Selain itu, dengan melelehnya es di kutub menyebabkan pulau-pulau kecil terancam tenggalam, punahnya beberapa spesies tumbuhan dan hewan tertentu, serta banjir akibat naik pasang pada kota-kota pantai seperti Jakarta.
Karena begitu kuatnya dampak global warming pada kehidupan manusia, negara-negara dunia dibawah naungan PBB mengadakan konferensi tingkat tinggi tentang perubahan iklim yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007, dan kerena begitu alotnya perundingan yang ada didalamnya sampai konferensi ini pun diperpanjang. Perundingan yang berada di dalamya adalah seputar ratifikasi protokol Kyoto, dan perundingan ini tak jauh dari keputusan untuk mengurangi emisi karbon oleh perusahaan-perusahaan besar. Permasalahan ini bahkan dikabarkan dapat membawa dunia kedalam konflik, pasalnya Amerika Serikat sangat sulit untuk menurunkan emisi karbon ini karena sumber devisa terbesar Amerika adalah dari sector industri. Bahkan hingga sampai saat ini berbagai macam perundingan tentang perbaikan lingkungan tidak terlalu berimplikasi besar terhadap perbaikan lingkungan dan alam.
Sebagai contoh, pertemuan ke-11 Special Session of the UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP) yang di langsungkan di Nusa Dua, Bali awal tahun ini yang membahas tentang: kebijakan lingkungan internasional atau international environmental governance dan pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development), serta ekonomi hijau, ekosistem, dan keanekaragaman hayati (the green economy, biodiversity, and ecosystems). Namun dari pertemuan itu juga tidak menghasilkan dampak perubahan kebijakan yang cukup signifikan untuk menyelamatkan bumi. Pertemuan-pertemuan semacam ini dirasa tidak ada manfaatnya jika para kepala Negara belum memiliki pandangan untuk merubah pola pembangunan menjadi pembangunan yang tidak berpihak kepada pro-growth, namun juga pro-poor, pro-job, dan pro-environment.
Selama ini isu lingkungan tidak mendapatkan banyak perhatian karena terkalahkan oleh isu makro seperti politik, bisnis, sampai isu mikro yang merasuki pada tataran life style seperti konsumerisme dan hedonisme. Dalam bidang diplomasi dan advokasi, isu ini pun termasuk isu yang baru. Selama ini diplomat dan advokat lebih sering berkutat pada isu pertahanan keamanan yang menyangkut konflik dalam perang dan hak asasi manusia diluar konteks lingkungan, tidak heran kalau diplomasi dan advokasi lingkungan lebih banyak dikuasai oleh NGO lingkungan, karena mereka lebih fokus terhadap isu lingkungan seperti melakukan penelitian secara kontinyu, jaringan internasional, dan tidak memiliki peran ganda yang menyebabkan dilema. Dalam hal ini, maksud saya adalah bahwa negara memiliki dilema dalam pelestarian lingkungan. Negara adalah institusi yang memiliki kontribusi paling besar dalam destruktifikasi lingkungan. Negara-negara yang menempati kontribusi paling banyak dalam global warming antara lain adalah Amerika, China, dan Rusia. Disamping itu mereka harus memperhitungkan tentang pendapatan negara yang banyak mengandalkan pada sektor industri untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Kemajuan teknologi bersahabat dengan lingkungan yang digagas oleh para ilmuwan tidak terlepas dari kemajuan pengembangan senjata nuklir sebagai salah satu alternatif sumber energi alternatif ditengah-tengah krisis energi. Di samping itu kemajuan teknologi yang berorientasi lingkungan masih belum dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat luas karena harga yang sangat mahal. Contohnya, mobil yang menggunakan mesin ramah lingkungan atau yang banyak disebut sebagai mobil v-tech harganya lebih dari pada harga standar. Ditengah-tengah kemiskinan yang melanda masyarakat, mereka pasti akan lebih memikirkan masalah perut dan financial dari pada masalah lingkungan sehingga mereka hanya akan menggunakan teknologi konvensional yang kurang ramah lingkungan.
B. Ekofeminisme
Ekofeminisme pertama kali diperkenalkan feminis Prancis, Francoise d'Eaubonne, pada 1974 lewat buku Le Feminisme ou La Mort. Melalui bukunya ini, Francoise d'Eaubonne menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan hidup.
Ekofeminisme pada tataran ekologi berarti sebuah teori dan gerakan etika lingkungan yang ingin mendobrak etika pada umumnya, yakni bersifat antroposentrisme. Manusia adalah satu-satunya pertimbangan moral dan etis. Lebih jauh lagi, ekofeminisme mengkritik androsentrisme, yaitu teori etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Karren J. Warren berpendapat logika konseptual androsentrisme yang menindas memiliki tiga ciri utama:
- pertama, berpikir tentang nilai secara hierarkis.
- Kedua, dualisme nilai, yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan dengan perempuan, manusia vs alam).
- Ketiga, logika dominasi, yaitu struktur dan cara berfikir yang cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi.
Ekofeminisme pada dasarnya merupakan varian yang relatif baru dari etika ekologis. Istilah ekofeminisme muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Francois d”Eaubonne yang berjudul “Le Feminisme ou la Mort”. Dalam karya ini ia mengungkapkan pandangan bahwa ada hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Ia mengklaim bahwa pembebasan merupakan salah satu dari keduanya tidak dapat terjadi secara terpisah dengan yang lain. Kareen J Warren menspesifikasi lebih jauh asumsi dasar dari ekofeminisme bahwa:
- Ada keterkaitan penting antara opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan.
- Pemahaman terhadap alam dalam kaitan ini adalah penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam.
- Teori dan praktek feminis harus memasukkan perspektif ekologi.
- Pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis.
Meskipun ekofeminisme setuju bahwa hubungan antara perempuan dengan alam adalah penyebab utama seksisme dan naturisme, mereka tidak bersepakat apakah hubungan perempuan dengan alam, pada dasarnya bersifat biologis atau psikologis, ataukah pada dasarnya bersifat sosiokultural. Mereka juga tidak sepakat tentang apakah perempuan harus menghilangkan, menekankan, atau membentuk kembali hubungannya dengan alam.
Menurut Ynestra king pengakuan hubungan antara perempuan dengan alam, dan posisi perempuan sebagai jembatan antara alam dan kebudayaan menghadirkan tiga arah kemungkinan feminisme. Arah pertama adalah memisahkan hubungan antara perempuan dengan alam, dengan secara mutlak mengintegrasikan perempuan ke dalam kebudayaan dan ranah produksi. Kedua adalah menegaskan kembali hubungan perempuan dengan alam, dengan mengajukan pendapat bahwa alam perempuan bukan saja berbeda, melainkan juga lebih baik dari budaya laki-laki. Yang ketiga cara dan isi ekofeminisme sejati ada dalam pemahaman tentang feminisme modern. Bahwa pada akhirnya semua bentuk opresi menusia berakar pada skema konseptual yang dikotomis yang menguntungkan salah satu dari dua hal (mis: laki-laki atas perempuan, alam atas kebudayaan, ilmu pengetahuan atas kekuatan supernatural).
Lebih jauh, ekofeminisme juga mengkritik ekosentrisme, khususnya deep ecology, karena kritiknya dianggap masih saja berpusat pada antroposentrisme sebagai sebab dari krisis ekologi. Padahal, lebih dalam dari itu adalah dominasi laki-laki atas alam sebagai sebab dari krisis ekologi. Bagi ekofeminisme, krisis ekologi tidak sekadar disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentris. Krisis ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentris: cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam.
Ekofeminisme menawarkan cara pandang yang holistik, pluralistis, dan inklusif, yang lebih memungkinkan lelaki dan perempuan membangun relasi setara, untuk mencegah kekerasan, menentang perang, dan menjaga alam-lingkungan di mana mereka hidup. Kelebihan ekofeminisme bukan hanya karena ia mampu menerangkan latar belakang subordinasi perempuan, tetapi juga latar belakang kerusakan lingkungan hidup global. Ekofeminisme melihat masalah sosial, kultural, dan struktural yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antar kelompok manusia (ras, etnik, negara, bangsa, agama, seks, gender) dan relasi antar manusia dengan alam-lingkungannya yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi manusia itu sendiri, yang berupa perang maupun kehancuran lingkungan hidup.
Ekofeminisme menggambarkan betapa energi feminitas sangat berpotensi menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian planet Bumi, planet tempat kita (lelaki maupun perempuan) hidup. Ekofeminisme dengan sangat baik juga mampu menerangkan betapa hipermaskulinisme ternyata juga berperan pula terhadap kerusakan ekosistem. Akibatnya, ekofeminisme secara lebih kuat mampu menerangkan mengapa kesetaraan gender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga kaum lelaki. Bila alam-lingkungan rusak, bukankah semua manusia, lelaki maupun perempuan pada akhirnya akan menderita?. Sebaliknya, bila alam-lingkungan lestari dan terjaga, bukankah manusia (lelaki dan perempuan) akan lebih sejahtera?, pria dan wanita dari setiap generasi harus berbagi bumi yang sama, satu-satunya bumi yang kita punyai dan karenanya kita memiliki tanggungjawab bersama untuk memastikan bahwa apa yang disebut satu generasi sebagai masa depan akan dapat tumbuh menjadi dewasa dengan aman.
C. Simone de Beauvoir
Ia mendorong perempuan untuk “mentransendensi” hubungan mereka dengan alam untuk melampaui status mereka sebagai liyan, atau jenis kelamin kelas dua. Beauvoir berspekulasi bahwa identitas perempuan sebagai liyan sebagian merupakan akibat dari fakta biologisnya terutama kapasitas biologisnya dan reproduksinya, dan sebagian adalah akibat dari tanggung jawab sosialnya atas pengasuhan anak. Beauvoir tidak memandang tubuh perempuan sebagai teman perempuan. Sebaliknya, ia memandang tubuh perempuan secara fundamental bersifat mengalienasi, dan menyemprot energi perempuan, sehingga perempuan menjadi terlalu kelelahan untuk dapat berpartisipasi dalam bentuk kreatifitas yang dinikmati laki-laki.
Berangkat dari Sartre Beauvoir menekankan bahwa laki-laki dan perempuan terperangkap dalam dialektika “Ada untuk dirinya sendiri” (pour-soi) dan “Ada di dalam dirinya sendiri” (en-soi). Ada untuk dirinya sendiri membangun Ada menjadi diri, yang secara sadar menyadari adanya kemungkinan untuk penciptaan diri yang ditawarkan oleh masa depan, ada di dalam dirinya mengkonstruksi ada sebagai liyan, sesuatu tanpa masa depan, dan karena itu tanpa adanya kemungkinan untuk transformasi apapun bentuk transformasi itu. Meskipun makhluk hidup adalah ada untuk dirinya, atau berkesadaran, kebudayaan barat cenderung untuk memandang bahwa hanya laki-laki yang sungguh-sungguh Ada untuk dirinya, sementara perempuan lebih dekat kepada Ada di dalam dirinya sendiri.
Beauvoir menyampaikan gagasannya bahwa perempuan akan menjadi manusia yang penuh seperti laki-laki, dengan bergabung dengan laki-laki dengan mengambil jarak dari dan dalam mentransendensi serta mengendalikan alam. Ia mempertentangkan transendensi laki-laki dan penaklukkan terhadap alam dengan imanensi perempuan, yang diidentifikasi dengan dan secara pasif larut dalam alam dan tubuhnya. “kemanusiaan yang penuh” yang akan diraih oleh perempuan, mengandung maksud menjadi bagian superior jiwa, mendominasi dan mentransendensi alam dan fisikalitas atau ketubuhan, kebebasan, dan keterkendalian yang dipertentangkan dengan keterlarutan dalam alam dan ketidakterkendalian yang buta. Perempuan menjadi “manusia secara penuh” dengan cara terserap dalam wilayah kebebasan dan transendensi maskulin yang terkonsepsialisasi dalam istilah-istilah chauvinis-manusia.
D. Perempuan & Gerakan Penyelamatan
Sebagai salah satu contoh gerakan yang pernah dilakukan perempuan, adalah Wangari Maathai dari Kenya yang kemudian mendapatkan hadiah Nobel dalam bidang ekologi. Hadiah itu diperoleh Wangari karena inisiatifnya dalam mempelopori gerakan penanaman pohon yang seluruhnya dikerjakan perempuan di Kenya. Namun, ekofeminisme tidak berkutat pada pembicaraan penyelamatan lingkungan hidup saja. Tidak hanya menanam pohon, keberhasilan ekofeminise serta merupakan cerminan dari seluruh kegiatan dalam merawat lingkungan, merawat anak, merawat suami, peduli terhadap tetangga, dan seterusnya.
Dalam sejarah Islam, bila kita melihat bagaimana pengelolaan lingkungan dan taman-taman di zaman keemasan Islam di Cordoba, Spanyol, tak lain merupakan refleksi dan penghargaan tinggi yang lintas batas kelamin dan mengutamakan kesetaraan gender (termasuk ekofeminisme) dalam pendidikan, guru, sastrawan, pencinta seni (keindahan), politik pemerintahan, dan lain-lain.
Semangat gerakan ekofeminisme (gerakan cinta lingkungan) menjadi salah satu jalan penyelamatan krisis ekologi yang juga memiliki legitimasi teologis. Dalam agama-agama (Islam rahmatan lil ‘alamin , cinta kasih dalam Kristiani, kasih sayang Sang Budha, dst) tak lain bagian integral dari semangat mencintai alam semesta. Karena spirit dari agama-agama sangat menghormati hak-hak kesetaraan dan keseimbangan lingkungan. Dari ekofeminisme, mempertimbangkan ide-ide dan semangat kaum hawa berupa kecintaan (penjagaan) alam dalam mengambil kebijakan dan langkah yang berkaitan orang banyak menjadi niscaya. Karena dalam semangat patriarkal, kebijakan publik yang kebanyakan dibuat oleh kaum adam malah acap kali lepas dari pertimbangan diri yang sensitif ekologi yang menjadi objek ekofeminisme.
Diharapkan dari sini, banjir di Solo beberapa waktu lalu, luapan air hujan dan banjir di sepanjang jalur transportasi darat pantai utara Jawa Tengah; Demak, Jepara, Kudus, Pati, dan Rembang yang menyebabkan kemacetan sampai 14 km, banjir tahunan di Jakarta, tragedi tanah longsor di ciwidei Bandung, retaknya tanggul Situ Gintung tidak terjadi atau tidak lebih parah lagi.
Berdasarkan perspektif teori-teori budaya, perilaku manusia tak lepas dari makna, pemahaman, dan pola pemikirannya tentang segala hal yang menyangkut perilaku tersebut. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa makna, pamahaman, dan pemikiran masyarakat tentang dunia tidak mengindahkan alam itu sendiri. Berdasarkan tradisi yang telah berkembang selama ini, suatu masalah hanya dipandang dari sudut pandang logika ilmiah yang mengedepankan brain trust dan think thanks. Di Negara maju seperti Amerika serikat, tradisi yang berkembang dalam pemerintahannya adalah berkonsultasi kepada para ahli atau ilmuan. Ilmuwan yang ahli di dalamnya seperti tidak dapat memiliki solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang berada dalam sistem pemerintahan tersebut, di mana sistem tersebut memiliki jaringan-jaringan yang sangat kompleks antar stakeholder yang terlibat di dalamnya. Selain itu, salah satu faktor yang melekat di dalamnya adalah bahwa para ahli tersebut menggunakan model-model konseptual yang kadaluarsa dan variabel-variabel yang tidak relevan, dan mayoritas dari para ilmuwan tersebut adalah laki-laki.
Dalam kerangka konsep ekofeminisme, manusia adalah bagian dari alam, alam sebagaimana seorang ibu, ia telah berjasa dalam memberikan kehidupan bagi manusia, oleh karena itu alam tidaklah untuk ditaklukkan, tetapi harus dilestarikan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Kehancuran alam ini merupakan transformasi budaya yang besar dan dalam, yang tidak dapat dicegah. Transformasi ini tidak dapat dilawan tetapi sebaliknya harus disambut sebagai satu-satunya pelarian penderitaan, kehancuran, dan kebekuan. Hal yang kita perlukan untuk mempersiapkan diri menghadapi transisi besar yang hampir kita hadapi ini adalah suatu pengujian kembali premis-premis dan nilai-nilai budaya kita, suatu model-model konseptual yang kehabisan daya gunanya, dan suatu penerimaan baru terhadap nilai-nilai yang telah ditinggalkan pada periode-periode sebelum sejarah kebudayaan kita.
Hanya dengan perilaku bersaing dan asgresif kehidupan tidak mungkin terjadi. Bahkan, orang-oarang yang paling ambisius dan berorientasi pada hasil sekalipun tetap memerlukan dukungan simpatik, hubungan manusia, dan saat-saat spontan, santai, dan bebas. Dalam kebudayaan, perempuan diharapkan , dan sering dipaksa memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Mereka menjadi sekretaris, resepsionis, hostes, perawat, dan ibu rumah tangga yang memberikan pelayanan agar kehidupan menjadi lebih nyaman agar orang-orang yang bersaing itu berhasil. Mereka menghibur para bos, membuatkan kopi untuk mereka, mereka membantu melunakkan konflik-konflik di kantor; mereka yang pertama menerima dan menjamu para tamu itu dengan obrolan ringan. Di kantor-kantor fisika, perempuan menyiapkan teh dan kue selama para laki-laki membicarakan teori-teori mereka. Semua pelayanan itu melibatkan aktivitas yin, atau aktivitas integrative, dan karena aktivitas-aktivitas semacam itu lebih rendah tingkatannya dalam sistem nilai kita dari pada aktivitas yang, atau aktivitas-aktivitas yang menonjolkan diri, maka orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut dibayar lebih rendah. Bahkan banyak di antara mereka seperti para ibu dan istri tidak dibayar sama sekali.
Dari survei singkat terhadap sikap dan nilai budaya ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan kita secara konsisten telah memajukan dan menghargai yang, elemen-elemen sifat dasar manusia yang cenderung maskulin dan menonjolkan diri, dan telah mengesampingkan yin, aspek-aspek feminine atau intuitifnya. Namun demikian, kita tengah menyaksikan permulaan atau gerakan evolusioner yang luar biasa. Titik balik yang hampir kita capai itu menandai suatu pembalikan dalam fluktuasi antara yin dan yang, sebagaimana kata-kata dalam naskah Can yang berubunyi “Yang setelah mencapai puncaknya, lalu mundur demi yin.” Dasawarsa 1960 dan 1970 telah melahirkan suatu rangkaian gerakan filsafat, spiritual, dan politik yang tampak menuju ke arah yang sama. Semua gerakan tersebut menghilangkan tekanan yang berlebihan pada sikap dan nilai yang, dan mencoba menetapkan kembali keseimbangan antara sisi maskulin dan feminine pada hakikat manusia.
Berdasarkan Pemaparan di atas terdapat suatu perhatian yang semakin besar pada ekologi, yang diungkapkan oleh gerakan-gerakan masyarakat meliputi persoalan-persoalan lingkungan hidup, yang menunjukkan batas-batas pertumbuhan yang mendukung ekologi baru dan mengembangkan teknologi lunak yang sesuai. Dalam arena politik gerakan antinuklir tengah berjuang melawan pertumbuhan berlebihan secara ekstrem dari teknologi “macho” yang menonjolkan diri, dan dalam perjuangannya gerakan ini tampak menjadi kekuatan politik yang paling kuat pada dasawarsa ini. Pada saat yang sama terdapat suatu permulaan perubahan signifikan dalam nilai-nilai—dari pemujaan pada perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga raksasa ke pengertian “kecil itu indah”, dari konsumsi materi ke-kesederhanaan sukarela, dari pertumbuhan ekonomi ke pertumbuhan teknologi ke pertumbuhan dan perkembangan batin. Nilai baru ini tengah dikembangkan oleh gerakan “potensi manusia”, gerakan “kesehatan holistik”, dan berbagai gerakan spiritual lainnya. Barang kali yang paling penting adalah bahwa sistem nilai lama sedang ditantang dan diubah dengan luar biasa dengan munculnya kesadaran feminis yang berasal dari gerakan perempuan.
Bermacam-macam gerakan ini membentuk apa yang disebut oleh ahli sejarah budaya Theodore Roszak sebagai “sounter culture” (budaya tandingan). Sejauh ini banyak di antara mereka masih bekerja secara terpisah dan belum mengetahui sejauh mana tujuan mereka saling berkaitan. Dengan demikian, gerakan potensi manusia kurang memiliki suatu perspektif sosial, sementara gerakan kesehatan holistik kurang memiliki kesadaran ekologis, dengan guru dari Timur yang menampilkan lambang-lambang status kapitalis Barat dan menghabiskan banyak waktu untuk membangun kekaisaran-kekaisaran ekonomi mereka. Namun demikian, akhir-akhir ini beberapa gerakan telah membentuk berbagai koalisi. Sebagaimana yang diharapkan, gerakan ekologi dan gerakan feminis bergabung kekuatan dalam beberapa kelompok lingkungan, kelompok konsumen, dan gerakan pembebasan etnik mulai menjalin hubungan kerjasama. Kita bisa memperkirakan bahwa sekali gerakan-gerakan tersebut mengetahui persamaan-persamaan dalam tujuan mereka, semua gerakan itu akan mengalir bersama dan membetuk suatu kekuatan transformasi sosial yang kuat.
E. Relevansi Pemikiran Ekofeminisme di Indonesia
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki konsep ekofeminisme yang sudah tertanam sejak lama yaitu dengan konsep ibu pertiwi. Konsep ini memberikan pandangan bahwa bumi tak dapat dimaknai sebagai seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi seluruh anaknya, yaitu seluruh manusia yang ada di atasnya. Bumi adalah tempat semua makhluk hidup berpijak dan bercongkolnya tanaman yang memiliki kontribusi yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, baik sadar maupun tidak, semua kehidupan yang ada di muka bumi berawal dari konsumsi atas tanaman, tanaman memiliki kedudukan pertama dalam rantai makanan.
Gerakan ekofeminisme ini merupakan gerakan feminis yang terbaru dan muncul ketika gejala-gejala global warming mulai nampak. Gerakan ekofeminisme sendiri banyak dilakukan di Indonesia. Secara ideologis dan konseptual boleh jadi gerakan ini hanya dipahami secara mendalam oleh beberapa orang saja. Sesuai dengan konsep yang dijelaskan di atas, gerakan ekofeminisme adalah gerakan yang menyerukan untuk merubah mainstream hubungan antara manusia dengan alam, di mana manusia merupakan bagian dari alam sehingga manusia juga harus andil dalam melestarikan alam bukannya ditaklukkan sehingga kekuatannya semakin melemah yang akhirnya membunuh manusia itu sendiri.
Depertemen kehutanan sendiri bersama dengan organisasi perempuan mencanangkan program menanam pohon di setiap provinsi, yang merupakan aksi kepedulian terhadap lingkungan. Organisasi perempuan seperti PKK yang ada dihampir setiap kota juga ikut berpartisispasi dalam gerakan ini. Tak hanya gerakan menanam pohon, program peduli lingkungan seperti pengolahan sampah organik dan non-organik juga banyak di lakukan oleh para ibu rumah tangga. Misalnya dengan mengolah sampah organik menjadi kompos, atau pengolahan sampah anorganik seperti plastik bekas yang dijahit menjadi tas, tempat handphone, dan berbagai aksesoris lainnya.
Gerakan menanam sejumlah pohon ini dalam implementasinya memang kurang menyertakan keterkaitannya dengan isu gender, kekuasaan patriarki, dan sebagainya, jadi dapat dikatakan kalau gerakan ekofeminis yang marak dilakukan di Indonesia hanya sebatas pada pemahaman mengenai isu lingkungan itu sendiri, dan tidak pada tataran pengertian atau hakikat perempuan dalam mainstream. Gerakan ekofeminis di Indonesia yang seperti ini hanya dapat dilihat dari sisi perbaikan lingkungan saja, artinya tidak sampai mengusung pada isu gender, dan tidak dapat direpresentasikan sebagai gerakan untuk memperjuangkan identitas dan eksistensi perempuan itu sendiri di hadapan sistem patriarkal. Bahkan jika dilihat lebih mendalam lagi gerakan ini adalah salah satu wadah untuk menambah kegiatan perempuan khususnya para ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam organisasinya, tetapi sekali lagi tidak disertai dengan idealisme bernafaskan gender, hanya idealisme yang berkontribusi positif terhadap lingkungan.
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Tanah kami subur tuhan
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah pemuda desa tak kerja…
Mereka dirampas haknya
Terbusung dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami mengabdi…
Senarai Rujukan:
Andriana, Nina. Ekoveminisme. www.kompas.com. (diakses 1 Juni 2008).
Beauvoir, de Simon. 1952. The second sex. New York: Vintage Books.
Fritjof, Capra. 2004. Titik Balik Peradaban, penerjemah: M. Thoyibi (UMS), Bentang, Bandung.
Hooks bell. 1990. Yearning : Race, Gender, and cultural Politics. Boston: South End Press.
Lestari, Evy. Ekofaminisme dan Krisis Ekologi. www.wawasandigital.com
Nikita. Ekofeminisme dalam gerakan pelestarian lingkungan. www.wordpress.com.
Tong, Rosmarie Putnam. 2004. Feminist Thought. Jogjakarta: Jalasutra.
0 komentar:
Posting Komentar